A. Pengertian Hipertensi
Kehamilan dengan hipertensi ialah keadaan hipertensi yang diimbas oleh kehamilan. Istilah ini diadopsi oleh “The American College of Obstetrician and Gynecologist” untuk mengganti istilah preeklampsia dan eklampsia. Sindrom ini terdiri atas trias: yaitu hipertensi, proteinuria, dan edema. Hipertensi jenis ini lazim menjangkiti primigravida (kehamilan minggu XX) berusia antara 20-35 tahun yang berasal dari lapisan social ekonomi tingkat bawah, dan menderita malnutrisi. Badan Kesehatan dunia memperkirakan ada 8% (eklamsia) dan 4% (hipertensi) dari 21 kasus penyebab kematian (selain abortus) yang ada.
Seorang wanita hamil boleh dicurigai menderita hipertensi kehamilan, jika yang bersangkutan sering mengeluh pusing, sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri perut bagian atas (ulu hati), nafsu makan lenyap, rasa mual, dan muntah. Tanda yang mudah diperiksa alah pertambahan berat badan secara progresif (. 3kg tiap minggu). Sehingga perlu adanya penyusunan menu dan trik khusus untuk menanggulangi masalah tersebut seperti Diet Rendah Garam karena nutrisi mempunyai peranan penting dalam upaya pencegahan dan penyembuhan hipertensi maupun komplikasi lain saat kehamilan.
Hipertensi ialah :
B. Perubahan Fisiologis Sistem Kardiovaskuler dalam Kehamilan
Sistem kardiovaskuler selama kehamilan harus memenuhi kebutuhan yang meningkat antara ibu dan janin. Peningkatan curah jantung selama kehamilan berkisar 40% pada trimester pertama dan kedua (Murray dalam Wylie). Peningkatan curah jantung memungkinkan darah mengalir malalui sirkulasi tambahan yang terbentuk di uterus yang membesar dan dinding plasenta dan memenuhi kebutuhan tambahan pada organ lainnya di tubuh ibu.
Jumlah dan panjang pembuluh darah yang dialirkan ke plasenta meningkat sehingga terjadi vasodilatasi sebagai akibat aktivitas hormon progesteron pada otot polos dinding pembuluh darah. Selama kehamilan terjadi peningkatan volume plasma darah hingga 50% dan jumlah sel darah meningkat hingga 18% untuk mengompensasi penurunan volume darah akibat pembentukan darah ekstra dan vasodilatasi (Blackburn dalam Wylie). Peningkatan volume plasma yang diimbangi dengan jumlah sel darah dan protein dalam darah yang bersikulasi dapat menyebabkan penurunan cairan pada kompartemen cairan interstisial dinding kapiler, sehingga mengakibatkan edema pada wanita hamil.
C. Penyebab Hipertensi dalam Kehamilan
Penyebab hipertensi pada sebagian besar kasus, tidak diketahui sehingga disebut hipertensi esensial. Namun demikian, pada sebagian kecil kasus hipertensi merupakan akibat sekunder proses penyakit lainnya, seperti ginjal; defek adrenal; komplikasi terapi obat.
Penyebab hipertensi dalam kehamilan adalah:
1. Hipertensi Esensial
Hipertensi esensial adalah penyakit hipertensi yang disebabkan oleh faktor herediter, faktor emosi dan lingkungan. Wanita hamil dengan hipertensi esensial memiliki tekanan darah sekitar 140/90 mmHg sampai 160/100 mmHg. Gejala-gejala lain seperti kelainan jantung, arteriosklerosis, perdarahan otak, dan penyakit ginjal akan timbul setelah dalam waktu yang lama dan penyakit terus berlanjut. Hipertensi esensial dalam kehamilan akan berlangsung normal sampai usia kehamilan aterm. Sekitar 20% dari wanita hamil akan menunjukkan kenaikan tekanan darah, dapat disertai proteinuria dan edema.
Faktor resiko hipertensi esensial dalam kehamilan adalah: wanita hamil multipara dengan usia lanjut dan kasus toksemia gravidarum. Penanganan dilakukan saat dalam kehamilan dan dalam persalinan. Penanganan dalam kehamilan meliputi: pemeriksaan antenatal yang teratur; cukup istirahat; monitor penambahan berat badan; dan melakukan pengawasan ibu dan janin; pemberian obat (anti hipertensi dan penenang); terminasi kehamilan dilakukan jika ada tanda-tanda hipertensi ganas.
Penanganan dalam persalinan meliputi: pengawasan pada setiap kala persalinan; secsio sesarea dilakukan pada wanita primitua dengan anak hidup. Prognosis untuk ibu dan janin kurang baik. Beberapa nasehat yang dapat diberikan pada wanita hamil adalah: pemakaian alat kontrasepsi bagi wanita dengan jumlah anak belum cukup.
2. Penyakit Ginjal Hipertensif
Penyakit ginjal dengan hipertensi dapat dijumpai pada wanita hamil dengan glomerulonefritis akut dan kronik; pielonefritis akut dan kronik. Frekuensi kejadian sekitar 1% secara klinis dan secara patologi-anatomi kira-kira 15%. Pemeriksaan yang dilakukan dengan cara: pemeriksaan urin lengkap dan faal ginjal; pemeriksaan retina; pemeriksaan umum; pemeriksaan kuantitatif albumin air kencing dan pemeriksaaan darah lengkap. Nasehat yang dapat diberikan ke pasien adalah: pemerilksaan antenatal yang teratur; pengawasan pertumbuhan janin dan kesehatan ibu.
D. Klasifikasi Hipertensi Dalam Kehamilan
Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai berikut:
E. Identifikasi Obat yang Aman untuk Hipertensi Kehamilan
1. Antikonvulsan
Antikonvulsan adalah obat untuk menghentikan atau mencegah fits atau kejang. Manfaat pengobatan harus lebih besar daripada resiko yang ditimbulkannya pada janin dan harus diusahakan untuk menggunakan obat tunggal yang paling efektif karena teratogenisitas meningkat seiring banyaknya jumlah obat yang digunakan. Kelompok obat ini menghambat penyerapan asam folat sehingga setiap suplemen yang diberikan harus tetap diteruskan selama kehamilan. Berikut adalah beberapa obat yang termasuk antikonvulsan.
a. Magnesium sulfat
Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang pada preeklamsia dan eklamsia. Alternative lain adalah diazepam dengan risiko terjadinya depresi neonatal.Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa magnesium sulfat merupakan drug of choice untuk mengobati kejang eklamptik (dibandingkan dengan diazepam dan fenitoin). Merupakan antikonvulsan yang efektif dan membantu mencegah kejang kambuhan dan mempertahankan aliran darah ke uterus dan aliran darah ke fetus. Magnesium sulfat berhasil mengontrol kejang eklamptik pada >95% kasus. Selain itu zat ini memberikan keuntungan fisiologis untuk fetus dengan meningkatkan aliran darah ke uterus. Mekanisme kerja magnesium sulfat adalah menekan pengeluaran asetilkolin pada motor endplate. Magnesium sebagai kompetisi antagonis kalsium juga memberikan efek yang baik untuk otot skelet.
Magnesium sulfat dikeluarkan secara eksklusif oleh ginjal dan mempunyai efek antihipertensi. Dapat diberikan dengan dua cara, yaitu IV dan IM. Rute intravena lebih disukai karena dapat dikontrol lebih mudah dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat terapetik lebih singkat. Rute intramuskular cenderung lebih nyeri dan kurang nyaman, digunakan jika akses IV atau pengawasan ketat pasien tidak mungkin. Pemberian magnesium sulfat harus diikuti dengan pengawasan ketat atas pasien dan fetus. Interaksi : Penggunaan bersamaan dengan nifedipin dapat menyebabkan hipotensi dan blokade neuromuskular. Dapat meningkatkan terjadinya blokade neuromuskular bila digunakan dengan aminoglikosida, potensial terjadi blokade neuromuskular bila digunakan kersamaan dengan tubokurarin, venkuronium dan suksinilkolin. Dapat meningkatkan efek SSP dan toksisitas dari depresan SSP, betametason dan kardiotoksisitas dari ritodrine.
Tujuan terapi magnesium adalah mengakhiri kejang yang sedang berlangsung dan mencegah kejang berkelanjutan. Pasien harus dievaluasi bahwa refleks tendon dalam masih ada, pernafasan sekurangnya 12 kali per menit dan urine output sedikitnya 100 ml dalam 4 jam. Terapi magnesium biasanya dilanjutkan 12-24 jam setelah bayi lahir ; dapat dihentikan jika tekanan darah membaik serta diuresis yang adekuat. Kadar magnesium harus diawasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, pada level 6-8 mg/dl. Pasien dengan urine output yang meningkat memerlukan dosis rumatan untuk mempertahankan magnesium pada level terapetiknya. Pasien diawasi apakah ada tanda-tanda perburukan atau adanya keracunan magnesium.
Magnesium sulfat untuk preeklamsia dan eklamsia :
1. Dosis awal adalah 4 gram intravena sebagai larutan 40% selama 5 menit.
2. Diikuti dengan MgSO4 (40%) 5g IM dengan iml Lignokain (dalam semprit yang sama)
3. Sebelum pemberian MgSO4 ulangan, lakukan pemeriksaan :
4. Cara pemberian MgSO4 IV/drip ialah :
5. Hentikan pemberian MgSO4, jika :
b. Diazepam
Telah lama digunakan untuk menanggulangi kegawatdaruratan pada kejang eklamptik. Mempunyai waktu paruh yang pendek dan efek depresi SSP yang signifikan. Dosis : 5 mg IV. Kontraindikasi: Hipersensitif pada diazepam, narrowangle glaucoma. Interaksi: Pemberian bersama fenotiazin, barbiturat, alkohol dan MAOI meningkatkan toksisitas benzodiazepin pada SSP.Kategori keamanan pada kehamilan: D-tidak aman digunakan pada wanita hamil. Peringatan : Dapat menyebabkan flebitis dan trombosis vena, jangan diberikan bila IV line tidak aman; Dapat menyebabkan apnea pada ibu dan henti jantung bila diberikan terlalu cepat. Pada neonatus dapat menyebabkandepresi nafas, hipotonia dan nafsu makan yang buruk. Sodium benzoat berkompetisi dengan bilirubin untuk pengikatan albumin, sehingga merupakan faktor predisposisi kernikterus pada bayi.
c. Fenitoin
Fenitoin telah berhasil digunakan untuk mengatasi kejang eklamptik, namun diduga menyebabkan bradikardi dan hipotensi. Fenitoin bekerja menstabilkan aktivitas neuron dengan menurunkan flux ion di seberang membran depolarisasi. Keuntungan fenitoin adalah dapat dilanjutkan secara oral untuk beberapa hari sampai risiko kejang eklamtik berkurang. Fenitoin juga memiliki kadar terapetik yang mudah diukur dan penggunaannya dalam jangka pendek sampai sejauh ini tidak memberikan efek samping yang buruk pada neonatus.
Dosis awal: 10 mg/kgbb. IV per drip dengan kecepatan < 50 mg/min, diikuti dengan dosis rumatan 5 mg/kgbb. 2 jam kemudian. Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap fenitoin, blok sinoatrial, AV blok tingkat kedua dan ketiga, sinus bradikardi, sindrom Adams-Stokes. Interaksi : Amiodaron, benzodiazepin, kloramfenikol, simetidin, flukonazol, isoniazid, metronidazol, miconazol, fenilbutazon, suksinimid, sulfonamid, omeprazol, fenasemid, disulfiram, etanol (tertelan secara akut), trimethoprim dan asam valproat dapat meningkatkan toksisitas fenitoin. Efektivitas fenitoin dapat berkurang bila digunakan bersamaan dengan obat golongan barbiturat, diazoksid, etanol, rifampisin, antasid, charcoal, karbamazepin, teofilin, dan sukralfat. Fenitoin dapat menurunkan efektifitas asetaminofen, kortikosteroid, dikumarol,disopiramid, doksisiklin, estrogen, haloperidol, amiodaron, karbamazepin, glikosida jantung, kuinidin, teofilin, methadon, metirapon, mexiletin, kontrasepsi oral, dan asam valproat.
Kategori keamanan pada kehamilan: D-Tidak aman untuk kehamilan. Peringatan: Diperlukan pemeriksaan hitung jenis dan analisis urin saat terapi dimulai untuk mengetahui adanya diskrasia darah. Hentikan penggunaan bila terdapat skin rash, kulit mengelupas, bulla dan purpura pada kulit. Infus yang cepat dapat menyebabkan kematian karena henti jantung, ditandai oleh melebarnya QRS. Hati-hati pada porfiria intermiten akut dan diabetes (karena meningkatkan kadar gula darah). Hentikan penggunaan bila terdapat disfungsi hati.
2. Anti Hipertensi
Pemberian antihipertensi sebaiknya dimulai pada wanita dengan tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg, atau tekanan darah diastolik lebih dari 110 mmHg. Pemberian labetalol secara oral atau intravena, nifedipine secara oral atau intravena hydralazine dapat lakukan untuk menatalaksana hipertensi berat.
Ada konsensus bersama, bila tekanan darah lebih dari 170/110 mmHg, lakukan penanganan terhadap tekanan darah ibu. Obat terpilih yang digunakan adalah labetalol, nifedipine, atau hydralazine. Labetalol memiliki keuntungan dapat diberikan awal lewat mulut, pada kasus hipertensi berat dan jika diperlukan, bisa secara intravena.
Hipertensi yang berasosiasi dengan eklampsia dapat dikontrol dengan adekuat dengan menghentikan kejang. Antihipertensi digunakan bila tekanan diastolik >110 mmHg. untuk mempertahankan tekanan diastolik pada kisaran 90-100 mmHg. Antihipertensi mempunyai 2 tujuan utama:
Bila tekanan darah diturunkan terlalu cepat akan menyebabkan hipoperfusi uterus. Pembuluh darah uterus biasanya mengalami vasodilatasi maksimal dan penurunan tekanan darah ibu akan menyebabkan penurunan perfusi uteroplasenta.
Walaupun cairan tubuh total pada pasien eklampsia berlebihan, volume intravaskular mengalami penyusutan dan wanita dengan eklampsia sangat sensitif pada perubahan volume cairan tubuh. Hipovolemia menyebabkan penurunan perfusi uterus sehingga penggunaan diuretik dan zat-zat hiperosmotik harus dihindari. Obat-obatan yang biasa digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi adalah hidralazin dan labetalol. Nifedipin telah lama digunakan tetapi masih kurang dapat diterima.
a. Hidralazin
Merupakan vasodilator arteriolar langsung yang menyebabkan takikardi dan peningkatan cardiac output. Hidralazin membantu meningkatkan aliran darah ke uterus dan mencegah hipotensi. Hidralazin dimetabolisir di hati. Dapat mengontrol hipertensi pada 95% pasien dengan eklampsia. Dosis: 5 mg IV ulangi 15-20 menit kemudian sampai tekanan darah <110 mmHg. Aksi obat mulai dalam 15 menit, puncaknya 30-60 menit, durasi kerja 4-6 jam. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap hidralazin, penyakit rematik katup mitral jantung. Interaksi: MAOI dan beta-bloker dapat meningkatkan toksisitas hidralazin dan efek farmakologi hidralazin dapat berkurang bila berinteraksi dengan indometasin. Kategori keamanan pada kehamilan: C – keamanan penggunaanya pada wanita hamil belum pernah ditetapkan. Peringatan: Pasien dengan infark miokard, memiliki penyakit jantung koroner; Efek sampingnya kemerahan, sakit kepala, pusing-pusing, palpitasi, angina dan sindrom seperti idiosinkratik lupus.(biasanya pada penggunaan kronik).
b. Labetalol
Merupakan beta-bloker non selektif. Tersedia dalam preparat IV dan per oral. Digunakan sebagai pengobatan alternatif dari hidralazin pada penderita eklampsia. Aliran darah ke uteroplasenta tidak dipengaruhi oleh pemberian labetalol IV. Dosis: Dosis awal 20 mg, dosis kedua ditingkatkan hingga 40 mg, dosis berikutnya hingga 80 mg sampai dosis kumulatif maksimal 300 mg; Dapat diberikan secara konstan melalui infus; Aksi obat dimulai setelah 5 menit, efek puncak pada 10-20 menit, durasi kerja obat 45 menit sampai 6 jam. Kontraindikasi: Hipersensitif pada labetalol, shock kardiogenik, edema paru, bradikardi, blok atrioventrikular, gagal jantung kongestif yang tidak terkompensasi; penyakit saluran nafas reaktif, bradikardi berat. Interaksi: Menurunkan efek diuretik dan meningkatkan toksisitas dari metotreksat, litium, dan salisilat. Menghilangkan refleks takikardi yang disebabkan oleh penggunaan nitrogliserin tanpa efek hipotensi. Simetidin dapat meningkatkan kadar labetalol dalam gula darah. Glutetimid dapat menurunkan efek labetalol dengan cara menginduksi enzim mikrosomal. Kategori keamanan pada kehamilan : C-keamanan penggunaanya pada wanita hamil belum ditetapkan. Peringatan: Hati-hati bila digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Hentikan penggunaan bila terdapat tanda disfungsi hati. Pada pasien yang berumur dapat terjadi keracunan ataupun respons yang rendah.
c. Nifedipin:
Merupakan Calcium Channel Blocker yang mempunyai efek vasodilatasi kuat arteriolar. Hanya tersedia dalam bentuk preparat oral. Dosis: 10 mg per oral, dapat ditingkatkan sampai dosis maksimal 120 mg/ hari. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap nifedipin. Interaksi: Hati-hati pada penggunaan bersamaan dengan obat lain yang berefek menurunkan tekanan darah, termasuk beta blocker dan opiat; H2 bloker (simetidin) dapat meningkatkan toksisitas. Kategori keamanan pada kehamilan: C – Keamanan penggunaannya pada wanita hamil belum ditetapkan. Peringatan: Dapat menyebabkan edema ekstremitas bawah, jarang namun dapat terjadi hepatitis karena alergi. Masalah utama penggunaan nifedipin adalah hipotensi. Hipotensi biasanya terjadi bila mengkonsumsi kalsium. Sebaiknya dihindari pada kehamilan dengan IUGR dan pada pasien dengan fetus yang terlacak memiliki detak jantung abnormal.
d. Klonidin
Merupakan agonis selektif reseptor 2 ( 2-agonis). Obat ini merangsang adrenoreseptor 2 di SSP dan perifer, tetapi efek antihipertensinya terutama akibat perangsangan reseptor 2 di SSP. Dosis: dimulai dengan 0.1 mg dua kali sehari; dapat ditingkatkan 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Penggunaan klonidin menurunkan tekanan darah sebesar 30-60 mmHg, dengan efek puncak 2-4 jam dan durasi kerja 6-8 jam. Efek samping yang sering terjadi adalah mulut kering dan sedasi, gejala ortostatik kadang terjadi. Penghentian mendadak dapat menimbulkan reaksi putus obat. Kontraindikasi: Sick-sinus syndrome, blok artrioventrikular derajat dua atau tiga. Interaksi: Diuretik, vasodilator, -bloker dapat meningkatkan efek antihipertensi. Pemberian bersamaan dengan bloker dan atau glikosida jantung dapat menurunkan denyut jantung dan disritmia. Pemberian bersamaan dengan antidepresan trisiklik dapat menurunkan kemampuan klonidin dalam menurunkan tekanan darah. Kategori keamanan pada kehamilan: C – keamanan penggunaannya pada wanita hamil belum ditetapkan. Peringatan: Hati-hati pada pasien dengan kelainan ritme jantung, kelainan sistem konduksi AV jantung, gagal ginjal, gangguan perfusi SSP ataupun perifer, depresi, polineuropati, konstipasi. Dapat menurunkan kemampuan mengendarai mobil ataupun mengoperasikan mesin.
F. Klasifikasi Obat Deuretik
1. Diuretik Golongan Tiazid
Tiazid dan senyawa-senyawa terkaitnya merupakan diuretik dengan potensi sedang . Bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi natrium pada bagian awal tubulus distal. Onset kerja golongan ini setelah pemberian peroral lebih kurang 1-2 jam, sedangkan masa kerjanya 12-24 jam. Lazimnya tiazid diberikan pada pagi hari agar diuresis tidak megganggu tidur pasien. Diuretik tiazid digunakan untuk mengurangi edema akibat gagal jantung dan dengan dosis yang lebih rendah, untuk menurunkn tekanan darah.
Yang termasuk ke dalam golongan obat tiazid yaitu Hidroklortiazid/HCT (Kategori C). indikasi: edema, hipertensi. Peringatan: dapat menyebabkan hipokalemia, memperburuk diabetes dan pirai, mungkin memperburuk SLE (eritema lupus sistemik), usia lanjut, kehamilan dan menyusui, gangguan hati dan ginjal, porfiria. Kontraindikasi: hipokalemia yang refraktur, hiponatremia, hiperkalsemia, gangguan ginjal dan hati yang berat, hiperurikemia yang simptomatis, penyakit addison. Efek samping: hipotensi postural dan gangguan saluran cerna yang ringan, impotensi (reversibel), hipokalemia, hipomagnesemia, hiponatremi, hiperkalsemia, hiperglikemi, peningkatan kadar kolesterol plasma.Dosis: edema, dosis awal 12,5-25 mg sehari, untuk pemeliharaan jika mungin dikurangi, edema kuat pada pasien yang tidak mampu untuk mentoleransi diuretik berat, awalnya 75 mg sehari.Hipertensi, dosis awal 12,5 mg sehari, jika perlu tingkatkan sampai 25 mg sehariUsia lanjut. Pada pasien tertentu dosis awal 12,5 mg sehari mungkin cukup.Bentuk sediaan: Hidroklortiazid (Generik) tablet 25 mg
2. Diuretik Kuat
Diuretik kuat digunakan dalam pengobatan edema paru akibat gagal jantung kiri. Diuretik ini juga digunakan pada pasien gagal jantung yang telah berlangsung lama. Diuretik kuat menghambat resorpsi cairan dari loop henle asending dalam tubulus ginjal dan merupakan diuretik yang kuat. Hipokalemia dapat terjadi, dan perlu hati-hati untuk menghindari hipotensi.
Yang termasuk ke dalam golongan ini yaitu Furosemid (Kategori C). Indikasi: edema, oligouri karena gagal ginjal. Peringatan: kehamilan dan menyusui, dapat menyebabkan hipokalemia dan hiponatremia, memperburuk diabetes melitus dan pirai, gagal hati, pembesaran prostat, porfiria. Kontraindikasi: keadaan pra koma akibat sirosis hati, gagal ginjal dengan anuria. Efek samping: hiponatremia, hipokalemia dan hipomagnesia, ekskresi kalsium meningkat, hipotensi, gangguan saluran cerna. Dosis: oral, edema, dosis awal 40 mg pada pagi hari, pemeiharaan 20 mg sehari atau 40 mg selang sehari, tingkatkan sampai 80 mg sehari pada edema yang resisten. Bentuk sediaan:
3. Diuretik Hemat Kalium
Yang termasuk ke dalam golongan ini yaitu :
A. Spironolakton (Kategori C) .
Indikasi: edema dan asites pada sirosis hati, asites malignan, sindrom nefrotik, gagal jantung kongestif. Peringatan: produk-produk metabolik manusia berpotensi karsinogenik pada hewan mengerat, usia lanjut, gangguan hati, gangguan ginjal. Kontraindikasi: hiperkalemia, hiponatremia, gangguan ginjal yang parah, kehamilan dan menyusui. Efek samping: gangguan saluran cerna, impotensi, ginekomasti, dismenore, sakit kepala. Dosis: 100-200 mg sehari, jika perlu tingkatkan sampai 400 mg, anak dosis awal 3 mg/kg dalam dosis terbagi. Bentuk sediaan:
B. Amilorid (Kategori B)
Indikasi: edema, konservasi kalium dengan tiazid dan diuretik kuat. Peringatan: kehamilan dan menyusui, gangguan ginjal, diabetes melitus, usia lanjut. Kontraindikasi: hiperkalemia, gagal ginjal. Efek samping: gangguan saluran cerna, mulut kering, ruam kulit, hiponatremia. Dosis: dosis awal 10 mg sehari atau 5 mg 2x sehari, maksimal 20 mg sehari
Bentuk sediaan:
4. Diuretik Osmotik
Diuretik golongan ini jarang digunakan pada gagal jantung karena mungkin meningkatkan volume darah secara akut. Mannitol digunakan pda edema serebral. Dosis khasnya 1 g/kg sebagai suatu larutan 20% yang diberikan lewat infus iv yang cepat. Mannitol (Kategori C). Indikasi: edema serebral. Peringatan: gagal jantung kongestif, edema paru. Efek samping: menggigil, demam. Dosis: infus iv, diuresis, 50-200g selama 24 jam, didahului oleh dosis uji 200mg/kg iv lambat.
Bentuk sediaan: Mannitol (Generik) infus 20%
5. Kombinasi Diuretik
Kombinasi antara satu golongan diuretik dan golongan diuretik yang lain. Menghindari kekhawatiran terjadinya hipokalemia dan ketidakpatuhan pasien. Sering digunakan untuk kasus hipertensi. Perlu diperhatikan dosis tiazid, dianjurkan memberi dosis rendah dulu
Sumber: http://yunivia88.blogspot.com/2013/03/hipertensi-dan-obatnya.html.
Kehamilan dengan hipertensi ialah keadaan hipertensi yang diimbas oleh kehamilan. Istilah ini diadopsi oleh “The American College of Obstetrician and Gynecologist” untuk mengganti istilah preeklampsia dan eklampsia. Sindrom ini terdiri atas trias: yaitu hipertensi, proteinuria, dan edema. Hipertensi jenis ini lazim menjangkiti primigravida (kehamilan minggu XX) berusia antara 20-35 tahun yang berasal dari lapisan social ekonomi tingkat bawah, dan menderita malnutrisi. Badan Kesehatan dunia memperkirakan ada 8% (eklamsia) dan 4% (hipertensi) dari 21 kasus penyebab kematian (selain abortus) yang ada.
Seorang wanita hamil boleh dicurigai menderita hipertensi kehamilan, jika yang bersangkutan sering mengeluh pusing, sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri perut bagian atas (ulu hati), nafsu makan lenyap, rasa mual, dan muntah. Tanda yang mudah diperiksa alah pertambahan berat badan secara progresif (. 3kg tiap minggu). Sehingga perlu adanya penyusunan menu dan trik khusus untuk menanggulangi masalah tersebut seperti Diet Rendah Garam karena nutrisi mempunyai peranan penting dalam upaya pencegahan dan penyembuhan hipertensi maupun komplikasi lain saat kehamilan.
Hipertensi ialah :
- Bila tekanan darah sistolik 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik >_ 90 mmHg.
- Kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg.
- Kenaikan tekanan darah diastolik 15 mmHg. Untuk mengukur tekanan darah yang pertama dilakukan dua kali setelah istirahat duduk 10 menit. Pengukuran tekanan darah ini harus dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali dengan selang waktu 6 jam dan ibu dalam keadaan istirahat.
B. Perubahan Fisiologis Sistem Kardiovaskuler dalam Kehamilan
Sistem kardiovaskuler selama kehamilan harus memenuhi kebutuhan yang meningkat antara ibu dan janin. Peningkatan curah jantung selama kehamilan berkisar 40% pada trimester pertama dan kedua (Murray dalam Wylie). Peningkatan curah jantung memungkinkan darah mengalir malalui sirkulasi tambahan yang terbentuk di uterus yang membesar dan dinding plasenta dan memenuhi kebutuhan tambahan pada organ lainnya di tubuh ibu.
Jumlah dan panjang pembuluh darah yang dialirkan ke plasenta meningkat sehingga terjadi vasodilatasi sebagai akibat aktivitas hormon progesteron pada otot polos dinding pembuluh darah. Selama kehamilan terjadi peningkatan volume plasma darah hingga 50% dan jumlah sel darah meningkat hingga 18% untuk mengompensasi penurunan volume darah akibat pembentukan darah ekstra dan vasodilatasi (Blackburn dalam Wylie). Peningkatan volume plasma yang diimbangi dengan jumlah sel darah dan protein dalam darah yang bersikulasi dapat menyebabkan penurunan cairan pada kompartemen cairan interstisial dinding kapiler, sehingga mengakibatkan edema pada wanita hamil.
C. Penyebab Hipertensi dalam Kehamilan
Penyebab hipertensi pada sebagian besar kasus, tidak diketahui sehingga disebut hipertensi esensial. Namun demikian, pada sebagian kecil kasus hipertensi merupakan akibat sekunder proses penyakit lainnya, seperti ginjal; defek adrenal; komplikasi terapi obat.
Penyebab hipertensi dalam kehamilan adalah:
1. Hipertensi Esensial
Hipertensi esensial adalah penyakit hipertensi yang disebabkan oleh faktor herediter, faktor emosi dan lingkungan. Wanita hamil dengan hipertensi esensial memiliki tekanan darah sekitar 140/90 mmHg sampai 160/100 mmHg. Gejala-gejala lain seperti kelainan jantung, arteriosklerosis, perdarahan otak, dan penyakit ginjal akan timbul setelah dalam waktu yang lama dan penyakit terus berlanjut. Hipertensi esensial dalam kehamilan akan berlangsung normal sampai usia kehamilan aterm. Sekitar 20% dari wanita hamil akan menunjukkan kenaikan tekanan darah, dapat disertai proteinuria dan edema.
Faktor resiko hipertensi esensial dalam kehamilan adalah: wanita hamil multipara dengan usia lanjut dan kasus toksemia gravidarum. Penanganan dilakukan saat dalam kehamilan dan dalam persalinan. Penanganan dalam kehamilan meliputi: pemeriksaan antenatal yang teratur; cukup istirahat; monitor penambahan berat badan; dan melakukan pengawasan ibu dan janin; pemberian obat (anti hipertensi dan penenang); terminasi kehamilan dilakukan jika ada tanda-tanda hipertensi ganas.
Penanganan dalam persalinan meliputi: pengawasan pada setiap kala persalinan; secsio sesarea dilakukan pada wanita primitua dengan anak hidup. Prognosis untuk ibu dan janin kurang baik. Beberapa nasehat yang dapat diberikan pada wanita hamil adalah: pemakaian alat kontrasepsi bagi wanita dengan jumlah anak belum cukup.
2. Penyakit Ginjal Hipertensif
Penyakit ginjal dengan hipertensi dapat dijumpai pada wanita hamil dengan glomerulonefritis akut dan kronik; pielonefritis akut dan kronik. Frekuensi kejadian sekitar 1% secara klinis dan secara patologi-anatomi kira-kira 15%. Pemeriksaan yang dilakukan dengan cara: pemeriksaan urin lengkap dan faal ginjal; pemeriksaan retina; pemeriksaan umum; pemeriksaan kuantitatif albumin air kencing dan pemeriksaaan darah lengkap. Nasehat yang dapat diberikan ke pasien adalah: pemerilksaan antenatal yang teratur; pengawasan pertumbuhan janin dan kesehatan ibu.
D. Klasifikasi Hipertensi Dalam Kehamilan
Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai berikut:
- Hipertensi Esensial; Hipertensi pre-existing dikenal dengan hipertensi kronis atau esensial.
- Hipertensi Esensial disertai superimposed pregnancy-induced hypertension; Superimposed pregnancy-induced hypertension atau pre-eklamsia dapat terjadi selama kehamilan. Komplikasi dari hipertensi esensial diindikasikan oleh ketidakmampuan tubuh untuk mengompensasi patologi penyebab hipertensi yang menghambat darah menyuplai gas dan nutrien ke jaringan dan organ tubuh. Komplikasi lain yang mungkin timbul antara lain: gagal ginjal; serangan vaskuler serebral (stroke); ensefalopati. Prognosis kondisi tersebut cenderung buruk.
- Pregnancy-induced hypertension (PIH); Hipertensi diinduksi kehamilan (pregnancy-induced hypertension, PIH) adalah peningkatan tekanan darah setelah minggu ke-20 kehamilan. Penyebab PIH belum diketahui, akan tetapi telah dihubungkan dengan kasus pembesaran plasenta. Karena tekanan darah meningkat tanpa proteinuria, maka dapat menjadi indikasi bahwa tubuh tidak mampu mengompensasi patologi sirkulasi yang berhubungan dengan hipertensi esensial dengan vaskularisasi tambahan ke plasenta dan janin. Diagnosisnya apabila tekanan darah diastolik > 110 mmHg pada setiap pemeriksaan atau 90 mmHg pada dua kali atau lebih pemeriksaan, atau selang 4 jam. Penatalaksanaannya diperlukan pengawasan yang cermat terhadap kondisi ibu dan janin. Pemeriksaan bagi ibu antara lain: pemeriksaan fisik lengkap; USG; laboratorium darah dan urin. Sedangkan bagi janin adalah pemeriksaan abdomen; USG; kardiotokografi.
- Pre-eklampsia; Pre-eklamsia juga dikenal sebagai hipertensi gestasional proteinurik, toksemia pre-eklamtik (TPE). Pre-eklamsia merupakan gangguan multisistem yang bersifat spesifik terhadap kehamilan dan masa nifas. Lebih tepatnya, penyakit ini merupakan penyakit plasenta. Angka kejadian pre-eklamsia sekitar 6-8% dari semua kehamilan. Penyebab pre-eklamsia belum diketahui secara pasti. Pre-eklamsia ditandai dengan gejala tekanan darah ? 140/90 mmHg, proteinuria dan edema pada wajah maupun tangan. Pre-eklamsia terbagi menjadi pre-eklamsia ringan dan pre-eklamsia berat. Komplikasi pre-eklamsia jangka pendek antara lain: gagal ginjal; eklamsia; stoke; kematian ibu; HELLP; DIC; dan masih banyak lainnya. Penanganan pre-eklamsia sesuai dengan klasifikasinya.
- Eklampsia; Eklamsia didefinisikan sebagai satu atau lebih kejang menyeluruh atau koma dalam kondisi pre-eklamsia tanpa ada kondisi neurolig lain. Eklamsia dianggap sebagai tahap akhir pre-eklamsia. Eklamsia dapat terjadi selama periode pranatal, intranatal, dan pascanatal. Yang paling beresiko adalah periode pascanatal. Komplikasi terjadinya eklamsia adalah kematian; perdarahan serebral; edema paru; ARDS; gagal ginjal. Ibu dengan pre-eklamsia berat beresiko mengalami kejang berulang, sehingga pencegahan dan penanganan dapat dilakukan dengan pemberian Magnesium Sulfat secara intravena.
E. Identifikasi Obat yang Aman untuk Hipertensi Kehamilan
1. Antikonvulsan
Antikonvulsan adalah obat untuk menghentikan atau mencegah fits atau kejang. Manfaat pengobatan harus lebih besar daripada resiko yang ditimbulkannya pada janin dan harus diusahakan untuk menggunakan obat tunggal yang paling efektif karena teratogenisitas meningkat seiring banyaknya jumlah obat yang digunakan. Kelompok obat ini menghambat penyerapan asam folat sehingga setiap suplemen yang diberikan harus tetap diteruskan selama kehamilan. Berikut adalah beberapa obat yang termasuk antikonvulsan.
a. Magnesium sulfat
Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang pada preeklamsia dan eklamsia. Alternative lain adalah diazepam dengan risiko terjadinya depresi neonatal.Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa magnesium sulfat merupakan drug of choice untuk mengobati kejang eklamptik (dibandingkan dengan diazepam dan fenitoin). Merupakan antikonvulsan yang efektif dan membantu mencegah kejang kambuhan dan mempertahankan aliran darah ke uterus dan aliran darah ke fetus. Magnesium sulfat berhasil mengontrol kejang eklamptik pada >95% kasus. Selain itu zat ini memberikan keuntungan fisiologis untuk fetus dengan meningkatkan aliran darah ke uterus. Mekanisme kerja magnesium sulfat adalah menekan pengeluaran asetilkolin pada motor endplate. Magnesium sebagai kompetisi antagonis kalsium juga memberikan efek yang baik untuk otot skelet.
Magnesium sulfat dikeluarkan secara eksklusif oleh ginjal dan mempunyai efek antihipertensi. Dapat diberikan dengan dua cara, yaitu IV dan IM. Rute intravena lebih disukai karena dapat dikontrol lebih mudah dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat terapetik lebih singkat. Rute intramuskular cenderung lebih nyeri dan kurang nyaman, digunakan jika akses IV atau pengawasan ketat pasien tidak mungkin. Pemberian magnesium sulfat harus diikuti dengan pengawasan ketat atas pasien dan fetus. Interaksi : Penggunaan bersamaan dengan nifedipin dapat menyebabkan hipotensi dan blokade neuromuskular. Dapat meningkatkan terjadinya blokade neuromuskular bila digunakan dengan aminoglikosida, potensial terjadi blokade neuromuskular bila digunakan kersamaan dengan tubokurarin, venkuronium dan suksinilkolin. Dapat meningkatkan efek SSP dan toksisitas dari depresan SSP, betametason dan kardiotoksisitas dari ritodrine.
Tujuan terapi magnesium adalah mengakhiri kejang yang sedang berlangsung dan mencegah kejang berkelanjutan. Pasien harus dievaluasi bahwa refleks tendon dalam masih ada, pernafasan sekurangnya 12 kali per menit dan urine output sedikitnya 100 ml dalam 4 jam. Terapi magnesium biasanya dilanjutkan 12-24 jam setelah bayi lahir ; dapat dihentikan jika tekanan darah membaik serta diuresis yang adekuat. Kadar magnesium harus diawasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, pada level 6-8 mg/dl. Pasien dengan urine output yang meningkat memerlukan dosis rumatan untuk mempertahankan magnesium pada level terapetiknya. Pasien diawasi apakah ada tanda-tanda perburukan atau adanya keracunan magnesium.
Magnesium sulfat untuk preeklamsia dan eklamsia :
1. Dosis awal adalah 4 gram intravena sebagai larutan 40% selama 5 menit.
2. Diikuti dengan MgSO4 (40%) 5g IM dengan iml Lignokain (dalam semprit yang sama)
3. Sebelum pemberian MgSO4 ulangan, lakukan pemeriksaan :
- Frekuensi pernafasan minimal 16 kali/menit
- Ada reflek patella
- Urin minimal 30ml/jam dalam 4 jam terakhir
- Frekuensi pernafasan < 16 kali/menit
4. Cara pemberian MgSO4 IV/drip ialah :
- Setelah pemberian dosis awal, diberikan 12 gram dalam 500 ml RL dengan tetes 15/menit (2 gram/jam).
- Reflex patella tidak ada, bradipnea (16 kali/menit)
- Urin < 30ml/jam pada hari ke 2
5. Hentikan pemberian MgSO4, jika :
- Terjadi henti nafas bantu pernafasan dengan ventilator
- Beri kalsium glukonas 2 gram (20ml dalam larutan 10%) IV. Perlahan-lahan samapai pernafasan mulai lagi.
b. Diazepam
Telah lama digunakan untuk menanggulangi kegawatdaruratan pada kejang eklamptik. Mempunyai waktu paruh yang pendek dan efek depresi SSP yang signifikan. Dosis : 5 mg IV. Kontraindikasi: Hipersensitif pada diazepam, narrowangle glaucoma. Interaksi: Pemberian bersama fenotiazin, barbiturat, alkohol dan MAOI meningkatkan toksisitas benzodiazepin pada SSP.Kategori keamanan pada kehamilan: D-tidak aman digunakan pada wanita hamil. Peringatan : Dapat menyebabkan flebitis dan trombosis vena, jangan diberikan bila IV line tidak aman; Dapat menyebabkan apnea pada ibu dan henti jantung bila diberikan terlalu cepat. Pada neonatus dapat menyebabkandepresi nafas, hipotonia dan nafsu makan yang buruk. Sodium benzoat berkompetisi dengan bilirubin untuk pengikatan albumin, sehingga merupakan faktor predisposisi kernikterus pada bayi.
- Dosis awal adalah 10mg IV. Diberikan secara perlahan selama 2 menit. Jika kejang berulang, ulangi pemberian sesuai dosis awal.
- Dosis pemeliharaan adalah 40 mg dalam 500 ml larutan ringer laktat melalui infus. Depresi pernafasan ibu baru mungkin terjadi bila dosis 30 mg/jam. Jangan berikan melebihi 100 mg/jam.
c. Fenitoin
Fenitoin telah berhasil digunakan untuk mengatasi kejang eklamptik, namun diduga menyebabkan bradikardi dan hipotensi. Fenitoin bekerja menstabilkan aktivitas neuron dengan menurunkan flux ion di seberang membran depolarisasi. Keuntungan fenitoin adalah dapat dilanjutkan secara oral untuk beberapa hari sampai risiko kejang eklamtik berkurang. Fenitoin juga memiliki kadar terapetik yang mudah diukur dan penggunaannya dalam jangka pendek sampai sejauh ini tidak memberikan efek samping yang buruk pada neonatus.
Dosis awal: 10 mg/kgbb. IV per drip dengan kecepatan < 50 mg/min, diikuti dengan dosis rumatan 5 mg/kgbb. 2 jam kemudian. Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap fenitoin, blok sinoatrial, AV blok tingkat kedua dan ketiga, sinus bradikardi, sindrom Adams-Stokes. Interaksi : Amiodaron, benzodiazepin, kloramfenikol, simetidin, flukonazol, isoniazid, metronidazol, miconazol, fenilbutazon, suksinimid, sulfonamid, omeprazol, fenasemid, disulfiram, etanol (tertelan secara akut), trimethoprim dan asam valproat dapat meningkatkan toksisitas fenitoin. Efektivitas fenitoin dapat berkurang bila digunakan bersamaan dengan obat golongan barbiturat, diazoksid, etanol, rifampisin, antasid, charcoal, karbamazepin, teofilin, dan sukralfat. Fenitoin dapat menurunkan efektifitas asetaminofen, kortikosteroid, dikumarol,disopiramid, doksisiklin, estrogen, haloperidol, amiodaron, karbamazepin, glikosida jantung, kuinidin, teofilin, methadon, metirapon, mexiletin, kontrasepsi oral, dan asam valproat.
Kategori keamanan pada kehamilan: D-Tidak aman untuk kehamilan. Peringatan: Diperlukan pemeriksaan hitung jenis dan analisis urin saat terapi dimulai untuk mengetahui adanya diskrasia darah. Hentikan penggunaan bila terdapat skin rash, kulit mengelupas, bulla dan purpura pada kulit. Infus yang cepat dapat menyebabkan kematian karena henti jantung, ditandai oleh melebarnya QRS. Hati-hati pada porfiria intermiten akut dan diabetes (karena meningkatkan kadar gula darah). Hentikan penggunaan bila terdapat disfungsi hati.
2. Anti Hipertensi
Pemberian antihipertensi sebaiknya dimulai pada wanita dengan tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg, atau tekanan darah diastolik lebih dari 110 mmHg. Pemberian labetalol secara oral atau intravena, nifedipine secara oral atau intravena hydralazine dapat lakukan untuk menatalaksana hipertensi berat.
Ada konsensus bersama, bila tekanan darah lebih dari 170/110 mmHg, lakukan penanganan terhadap tekanan darah ibu. Obat terpilih yang digunakan adalah labetalol, nifedipine, atau hydralazine. Labetalol memiliki keuntungan dapat diberikan awal lewat mulut, pada kasus hipertensi berat dan jika diperlukan, bisa secara intravena.
Terdapat konsensus, bila tekanan darah dibawah 160/100, tidak dibutuhkan secara mendesak pemberian terapi antihipertensi. Terdapat perkecualian, bila ditemukan indikasi untuk penyakit dengan gejala yang yang lebih berat, yakni potenuria berat atau gangguan hari, atau hasil tes darah. Pada kondisi demikian, peningkatan tekanan darah dapat diantisipasi, dengan terapi antihipertensi pada level tekanan darah yang lebih rendah yang telah disesuaikan.
Hipertensi yang berasosiasi dengan eklampsia dapat dikontrol dengan adekuat dengan menghentikan kejang. Antihipertensi digunakan bila tekanan diastolik >110 mmHg. untuk mempertahankan tekanan diastolik pada kisaran 90-100 mmHg. Antihipertensi mempunyai 2 tujuan utama:
- Menurunkan angka kematian maternal dan kematian yang berhubungan dengan kejang, stroke dan emboli paru dan
- Menurunkan angka kematian fetus dan kematian yang disebabkan oleh IUGR, placental abruption dan infark.
Bila tekanan darah diturunkan terlalu cepat akan menyebabkan hipoperfusi uterus. Pembuluh darah uterus biasanya mengalami vasodilatasi maksimal dan penurunan tekanan darah ibu akan menyebabkan penurunan perfusi uteroplasenta.
Walaupun cairan tubuh total pada pasien eklampsia berlebihan, volume intravaskular mengalami penyusutan dan wanita dengan eklampsia sangat sensitif pada perubahan volume cairan tubuh. Hipovolemia menyebabkan penurunan perfusi uterus sehingga penggunaan diuretik dan zat-zat hiperosmotik harus dihindari. Obat-obatan yang biasa digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi adalah hidralazin dan labetalol. Nifedipin telah lama digunakan tetapi masih kurang dapat diterima.
a. Hidralazin
Merupakan vasodilator arteriolar langsung yang menyebabkan takikardi dan peningkatan cardiac output. Hidralazin membantu meningkatkan aliran darah ke uterus dan mencegah hipotensi. Hidralazin dimetabolisir di hati. Dapat mengontrol hipertensi pada 95% pasien dengan eklampsia. Dosis: 5 mg IV ulangi 15-20 menit kemudian sampai tekanan darah <110 mmHg. Aksi obat mulai dalam 15 menit, puncaknya 30-60 menit, durasi kerja 4-6 jam. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap hidralazin, penyakit rematik katup mitral jantung. Interaksi: MAOI dan beta-bloker dapat meningkatkan toksisitas hidralazin dan efek farmakologi hidralazin dapat berkurang bila berinteraksi dengan indometasin. Kategori keamanan pada kehamilan: C – keamanan penggunaanya pada wanita hamil belum pernah ditetapkan. Peringatan: Pasien dengan infark miokard, memiliki penyakit jantung koroner; Efek sampingnya kemerahan, sakit kepala, pusing-pusing, palpitasi, angina dan sindrom seperti idiosinkratik lupus.(biasanya pada penggunaan kronik).
b. Labetalol
Merupakan beta-bloker non selektif. Tersedia dalam preparat IV dan per oral. Digunakan sebagai pengobatan alternatif dari hidralazin pada penderita eklampsia. Aliran darah ke uteroplasenta tidak dipengaruhi oleh pemberian labetalol IV. Dosis: Dosis awal 20 mg, dosis kedua ditingkatkan hingga 40 mg, dosis berikutnya hingga 80 mg sampai dosis kumulatif maksimal 300 mg; Dapat diberikan secara konstan melalui infus; Aksi obat dimulai setelah 5 menit, efek puncak pada 10-20 menit, durasi kerja obat 45 menit sampai 6 jam. Kontraindikasi: Hipersensitif pada labetalol, shock kardiogenik, edema paru, bradikardi, blok atrioventrikular, gagal jantung kongestif yang tidak terkompensasi; penyakit saluran nafas reaktif, bradikardi berat. Interaksi: Menurunkan efek diuretik dan meningkatkan toksisitas dari metotreksat, litium, dan salisilat. Menghilangkan refleks takikardi yang disebabkan oleh penggunaan nitrogliserin tanpa efek hipotensi. Simetidin dapat meningkatkan kadar labetalol dalam gula darah. Glutetimid dapat menurunkan efek labetalol dengan cara menginduksi enzim mikrosomal. Kategori keamanan pada kehamilan : C-keamanan penggunaanya pada wanita hamil belum ditetapkan. Peringatan: Hati-hati bila digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Hentikan penggunaan bila terdapat tanda disfungsi hati. Pada pasien yang berumur dapat terjadi keracunan ataupun respons yang rendah.
c. Nifedipin:
Merupakan Calcium Channel Blocker yang mempunyai efek vasodilatasi kuat arteriolar. Hanya tersedia dalam bentuk preparat oral. Dosis: 10 mg per oral, dapat ditingkatkan sampai dosis maksimal 120 mg/ hari. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap nifedipin. Interaksi: Hati-hati pada penggunaan bersamaan dengan obat lain yang berefek menurunkan tekanan darah, termasuk beta blocker dan opiat; H2 bloker (simetidin) dapat meningkatkan toksisitas. Kategori keamanan pada kehamilan: C – Keamanan penggunaannya pada wanita hamil belum ditetapkan. Peringatan: Dapat menyebabkan edema ekstremitas bawah, jarang namun dapat terjadi hepatitis karena alergi. Masalah utama penggunaan nifedipin adalah hipotensi. Hipotensi biasanya terjadi bila mengkonsumsi kalsium. Sebaiknya dihindari pada kehamilan dengan IUGR dan pada pasien dengan fetus yang terlacak memiliki detak jantung abnormal.
d. Klonidin
Merupakan agonis selektif reseptor 2 ( 2-agonis). Obat ini merangsang adrenoreseptor 2 di SSP dan perifer, tetapi efek antihipertensinya terutama akibat perangsangan reseptor 2 di SSP. Dosis: dimulai dengan 0.1 mg dua kali sehari; dapat ditingkatkan 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Penggunaan klonidin menurunkan tekanan darah sebesar 30-60 mmHg, dengan efek puncak 2-4 jam dan durasi kerja 6-8 jam. Efek samping yang sering terjadi adalah mulut kering dan sedasi, gejala ortostatik kadang terjadi. Penghentian mendadak dapat menimbulkan reaksi putus obat. Kontraindikasi: Sick-sinus syndrome, blok artrioventrikular derajat dua atau tiga. Interaksi: Diuretik, vasodilator, -bloker dapat meningkatkan efek antihipertensi. Pemberian bersamaan dengan bloker dan atau glikosida jantung dapat menurunkan denyut jantung dan disritmia. Pemberian bersamaan dengan antidepresan trisiklik dapat menurunkan kemampuan klonidin dalam menurunkan tekanan darah. Kategori keamanan pada kehamilan: C – keamanan penggunaannya pada wanita hamil belum ditetapkan. Peringatan: Hati-hati pada pasien dengan kelainan ritme jantung, kelainan sistem konduksi AV jantung, gagal ginjal, gangguan perfusi SSP ataupun perifer, depresi, polineuropati, konstipasi. Dapat menurunkan kemampuan mengendarai mobil ataupun mengoperasikan mesin.
F. Klasifikasi Obat Deuretik
1. Diuretik Golongan Tiazid
Tiazid dan senyawa-senyawa terkaitnya merupakan diuretik dengan potensi sedang . Bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi natrium pada bagian awal tubulus distal. Onset kerja golongan ini setelah pemberian peroral lebih kurang 1-2 jam, sedangkan masa kerjanya 12-24 jam. Lazimnya tiazid diberikan pada pagi hari agar diuresis tidak megganggu tidur pasien. Diuretik tiazid digunakan untuk mengurangi edema akibat gagal jantung dan dengan dosis yang lebih rendah, untuk menurunkn tekanan darah.
Yang termasuk ke dalam golongan obat tiazid yaitu Hidroklortiazid/HCT (Kategori C). indikasi: edema, hipertensi. Peringatan: dapat menyebabkan hipokalemia, memperburuk diabetes dan pirai, mungkin memperburuk SLE (eritema lupus sistemik), usia lanjut, kehamilan dan menyusui, gangguan hati dan ginjal, porfiria. Kontraindikasi: hipokalemia yang refraktur, hiponatremia, hiperkalsemia, gangguan ginjal dan hati yang berat, hiperurikemia yang simptomatis, penyakit addison. Efek samping: hipotensi postural dan gangguan saluran cerna yang ringan, impotensi (reversibel), hipokalemia, hipomagnesemia, hiponatremi, hiperkalsemia, hiperglikemi, peningkatan kadar kolesterol plasma.Dosis: edema, dosis awal 12,5-25 mg sehari, untuk pemeliharaan jika mungin dikurangi, edema kuat pada pasien yang tidak mampu untuk mentoleransi diuretik berat, awalnya 75 mg sehari.Hipertensi, dosis awal 12,5 mg sehari, jika perlu tingkatkan sampai 25 mg sehariUsia lanjut. Pada pasien tertentu dosis awal 12,5 mg sehari mungkin cukup.Bentuk sediaan: Hidroklortiazid (Generik) tablet 25 mg
2. Diuretik Kuat
Diuretik kuat digunakan dalam pengobatan edema paru akibat gagal jantung kiri. Diuretik ini juga digunakan pada pasien gagal jantung yang telah berlangsung lama. Diuretik kuat menghambat resorpsi cairan dari loop henle asending dalam tubulus ginjal dan merupakan diuretik yang kuat. Hipokalemia dapat terjadi, dan perlu hati-hati untuk menghindari hipotensi.
Yang termasuk ke dalam golongan ini yaitu Furosemid (Kategori C). Indikasi: edema, oligouri karena gagal ginjal. Peringatan: kehamilan dan menyusui, dapat menyebabkan hipokalemia dan hiponatremia, memperburuk diabetes melitus dan pirai, gagal hati, pembesaran prostat, porfiria. Kontraindikasi: keadaan pra koma akibat sirosis hati, gagal ginjal dengan anuria. Efek samping: hiponatremia, hipokalemia dan hipomagnesia, ekskresi kalsium meningkat, hipotensi, gangguan saluran cerna. Dosis: oral, edema, dosis awal 40 mg pada pagi hari, pemeiharaan 20 mg sehari atau 40 mg selang sehari, tingkatkan sampai 80 mg sehari pada edema yang resisten. Bentuk sediaan:
- Furosemide (Generik) tablet 40 mg
- Farsix (Pratapa Nirmala) cairan inj. 10 mg/ml, tablet 40 mg
- Lasix (Hoechst) cairan inj. 20 mg/2 ml, tablet 40 mg
- Uresix (Sanbe) tablet Ss 40 mg
3. Diuretik Hemat Kalium
Yang termasuk ke dalam golongan ini yaitu :
A. Spironolakton (Kategori C) .
Indikasi: edema dan asites pada sirosis hati, asites malignan, sindrom nefrotik, gagal jantung kongestif. Peringatan: produk-produk metabolik manusia berpotensi karsinogenik pada hewan mengerat, usia lanjut, gangguan hati, gangguan ginjal. Kontraindikasi: hiperkalemia, hiponatremia, gangguan ginjal yang parah, kehamilan dan menyusui. Efek samping: gangguan saluran cerna, impotensi, ginekomasti, dismenore, sakit kepala. Dosis: 100-200 mg sehari, jika perlu tingkatkan sampai 400 mg, anak dosis awal 3 mg/kg dalam dosis terbagi. Bentuk sediaan:
- Spironolactone (Generik) tablet 25 mg
- Letonal (Otto) tablet 25 mg, 100 mg
B. Amilorid (Kategori B)
Indikasi: edema, konservasi kalium dengan tiazid dan diuretik kuat. Peringatan: kehamilan dan menyusui, gangguan ginjal, diabetes melitus, usia lanjut. Kontraindikasi: hiperkalemia, gagal ginjal. Efek samping: gangguan saluran cerna, mulut kering, ruam kulit, hiponatremia. Dosis: dosis awal 10 mg sehari atau 5 mg 2x sehari, maksimal 20 mg sehari
Bentuk sediaan:
- Amiloride (Generik) tablet 5 mg
- Puritrid (Dexa Medica) tablet 5 mg
4. Diuretik Osmotik
Diuretik golongan ini jarang digunakan pada gagal jantung karena mungkin meningkatkan volume darah secara akut. Mannitol digunakan pda edema serebral. Dosis khasnya 1 g/kg sebagai suatu larutan 20% yang diberikan lewat infus iv yang cepat. Mannitol (Kategori C). Indikasi: edema serebral. Peringatan: gagal jantung kongestif, edema paru. Efek samping: menggigil, demam. Dosis: infus iv, diuresis, 50-200g selama 24 jam, didahului oleh dosis uji 200mg/kg iv lambat.
Bentuk sediaan: Mannitol (Generik) infus 20%
5. Kombinasi Diuretik
Kombinasi antara satu golongan diuretik dan golongan diuretik yang lain. Menghindari kekhawatiran terjadinya hipokalemia dan ketidakpatuhan pasien. Sering digunakan untuk kasus hipertensi. Perlu diperhatikan dosis tiazid, dianjurkan memberi dosis rendah dulu
Sumber: http://yunivia88.blogspot.com/2013/03/hipertensi-dan-obatnya.html.
Comments
Post a Comment