SETIAP pasien kanker usus besar yang telah menjalani operasi hendaknya meneruskan perawatan lanjutan, guna memastikan kanker telah hilang.
Nyatanya, banyak pasien kanker usus besar yang lalai meneruskan perawatan lanjutan pascaoperasi. Setidaknya itulah kesimpulan hasil studi yang dilakukan di Amerika, baru-baru ini. Banyak pasien kanker usus besar yang pascatindakan bedah tidak mendapat skrining sesuai panduan yang direkomendasikan.
Penelitian yang dilakukan tim peneliti dari University Hospitals Case Medical Center di Cleveland tersebut melibatkan partisipan sebanyak 4.426 pasien kanker usus stadium dini yang masih bisa disembuhkan dengan pembedahan atau operasi.
Dari sejumlah partisipan yang telah menjalani operasi kanker tersebut, tercatat hanya sekitar 40 persen yang mendapat paket perawatan lanjutan yang direkomendasikan seperti pemeriksaan rutin oleh dokter, tes darah, dan prosedur colonoscopy dalam tiga tahun pascabedah kanker.
Dalam hal pemeriksaan dokter, memang hampir semua partisipan menjalaninya. Demikian halnya partisipan yang menjalani colonoscopy mencapai 75 persen. Namun, ternyata banyak di antara mereka yang tidak mendapat tes darah yang sebenarnya penting sebagai indikator kemunculan kembali kanker usus besar.
"Tidak jelas apakah hal itu terjadi karena dokter yang tidak menawarkan tes ataukah memang si pasien yang tidak berusaha," kata pimpinan penelitian, Dr Gregory Cooper. Dia menduga, kemungkinan perawatan lanjutan hanya dilakukan dokter umum, bukan spesialis atau seseorang yang tidak mengerti panduan perawatan pascaoperasi.
"Kalau saya lebih cenderung menilai ini kesalahan pihak rumah sakit atau penyedia layanan kesehatannya," kata Cooper yang merupakan seorang gasteroenterologis.
Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kanker edisi terbaru tersebut, Cooper dan timnya menggunakan data kasus kanker dari kantor pemerintah federal Amerika Serikat, termasuk catatan kesehatan pasien (medical record) untuk meninjau apakah sekiranya panduan pascaoperasi tersebut diikuti. Mereka berfokus pada pasien berusia 66 tahun atau lebih, dengan kasus kanker stadium dini hingga menengah yang masih dapat diatasi dengan pembedahan.
Data pasien yang diteliti adalah dalam kurun waktu tiga tahun, dimulai sejak enam bulan pascaoperasi. Saat studi dimulai pada tahun 2000, panduan minimum mewajibkan setidaknya kunjungan dokter dua kali per tahun, dua kali tes darah per tahun selama dua tahun, dan minimal sekali colonoscopy dalam tiga tahun. "Colonoscopy terutama dianjurkan pada tahun pertama pascaoperasi," ujarnya.
Secara keseluruhan, sekitar 60 persen pasien tidak mendapat perawatan sesuai panduan tersebut. Akan tetapi, mereka yang menjalani perawatan lengkap, lebih dari separuhnya juga melakukan perawatan medis tambahan seperti CT scan dan PET scan yang tidak diwajibkan dalam perawatan rutin. Scan ini sejatinya dilakukan jika ada tanda atau gejala kekambuhan. Namun, peneliti menduga, mereka menjalaninya sebagai perawatan rutin.
Penelitian ini juga menyimpulkan temuan lainnya, yakni tingkat skrining yang rendah pada kelompok usia lebih tua, ras Amerika-Afrika dan pasien dengan berbagai masalah kesehatan lainnya.
"Cukup memprihatinkan. Saya tidak terkejut dengan temuan ini," ujar Dr Len Lichtenfeld, kepala deputi kesehatan di American Cancer Society, yang turut mendanai penelitian tersebut.
Tahun ini, sekitar 149.000 orang Amerika diperkirakan terdiagnosis kanker usus (kolorektal). Pasien yang bertahan setelah lima tahun terdiagnosis angkanya cukup beragam. Ada yang hingga 90 persen (pada pasien kanker yang belum menyebar), namun bisa juga hanya 10 persen, yakni pada pasien kanker stadium lanjut.
Di negara Barat, kanker usus besar (kolon) dan rektum (kanker kolorektal) konon menempati peringkat ke-2 untuk kategori jenis kanker tersering terjadi, sekaligus menjadi kanker penyebab kematian nomor dua. Angka kejadian kanker kolorektal biasanya mulai meningkat pada usia 40 tahun, dan puncaknya pada usia 60-75 tahun.
Seperti kanker pada umumnya, kanker usus besar juga "misterius". Artinya, penyebabnya beragam dan mungkin tidak sama antar pasien. Spesialis bedah kanker RS Dharmais Jakarta dr Adil Pasaribu SpBKBD, mengungkapkan, terdapat tiga kelompok besar penyebab, yakni genetik atau herediter murni (10 persen), familiel (20 persen), dan faktor campuran/sporadis (70 persen).
"Yang terbanyak menjadi kanker adalah interaksi antara genetik dan faktor lingkungan sebagai pemicu," tandasnya.
Sumber: www.lifestyle.okezone.com
Nyatanya, banyak pasien kanker usus besar yang lalai meneruskan perawatan lanjutan pascaoperasi. Setidaknya itulah kesimpulan hasil studi yang dilakukan di Amerika, baru-baru ini. Banyak pasien kanker usus besar yang pascatindakan bedah tidak mendapat skrining sesuai panduan yang direkomendasikan.
Penelitian yang dilakukan tim peneliti dari University Hospitals Case Medical Center di Cleveland tersebut melibatkan partisipan sebanyak 4.426 pasien kanker usus stadium dini yang masih bisa disembuhkan dengan pembedahan atau operasi.
Dari sejumlah partisipan yang telah menjalani operasi kanker tersebut, tercatat hanya sekitar 40 persen yang mendapat paket perawatan lanjutan yang direkomendasikan seperti pemeriksaan rutin oleh dokter, tes darah, dan prosedur colonoscopy dalam tiga tahun pascabedah kanker.
Dalam hal pemeriksaan dokter, memang hampir semua partisipan menjalaninya. Demikian halnya partisipan yang menjalani colonoscopy mencapai 75 persen. Namun, ternyata banyak di antara mereka yang tidak mendapat tes darah yang sebenarnya penting sebagai indikator kemunculan kembali kanker usus besar.
"Tidak jelas apakah hal itu terjadi karena dokter yang tidak menawarkan tes ataukah memang si pasien yang tidak berusaha," kata pimpinan penelitian, Dr Gregory Cooper. Dia menduga, kemungkinan perawatan lanjutan hanya dilakukan dokter umum, bukan spesialis atau seseorang yang tidak mengerti panduan perawatan pascaoperasi.
"Kalau saya lebih cenderung menilai ini kesalahan pihak rumah sakit atau penyedia layanan kesehatannya," kata Cooper yang merupakan seorang gasteroenterologis.
Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kanker edisi terbaru tersebut, Cooper dan timnya menggunakan data kasus kanker dari kantor pemerintah federal Amerika Serikat, termasuk catatan kesehatan pasien (medical record) untuk meninjau apakah sekiranya panduan pascaoperasi tersebut diikuti. Mereka berfokus pada pasien berusia 66 tahun atau lebih, dengan kasus kanker stadium dini hingga menengah yang masih dapat diatasi dengan pembedahan.
Data pasien yang diteliti adalah dalam kurun waktu tiga tahun, dimulai sejak enam bulan pascaoperasi. Saat studi dimulai pada tahun 2000, panduan minimum mewajibkan setidaknya kunjungan dokter dua kali per tahun, dua kali tes darah per tahun selama dua tahun, dan minimal sekali colonoscopy dalam tiga tahun. "Colonoscopy terutama dianjurkan pada tahun pertama pascaoperasi," ujarnya.
Secara keseluruhan, sekitar 60 persen pasien tidak mendapat perawatan sesuai panduan tersebut. Akan tetapi, mereka yang menjalani perawatan lengkap, lebih dari separuhnya juga melakukan perawatan medis tambahan seperti CT scan dan PET scan yang tidak diwajibkan dalam perawatan rutin. Scan ini sejatinya dilakukan jika ada tanda atau gejala kekambuhan. Namun, peneliti menduga, mereka menjalaninya sebagai perawatan rutin.
Penelitian ini juga menyimpulkan temuan lainnya, yakni tingkat skrining yang rendah pada kelompok usia lebih tua, ras Amerika-Afrika dan pasien dengan berbagai masalah kesehatan lainnya.
"Cukup memprihatinkan. Saya tidak terkejut dengan temuan ini," ujar Dr Len Lichtenfeld, kepala deputi kesehatan di American Cancer Society, yang turut mendanai penelitian tersebut.
Tahun ini, sekitar 149.000 orang Amerika diperkirakan terdiagnosis kanker usus (kolorektal). Pasien yang bertahan setelah lima tahun terdiagnosis angkanya cukup beragam. Ada yang hingga 90 persen (pada pasien kanker yang belum menyebar), namun bisa juga hanya 10 persen, yakni pada pasien kanker stadium lanjut.
Di negara Barat, kanker usus besar (kolon) dan rektum (kanker kolorektal) konon menempati peringkat ke-2 untuk kategori jenis kanker tersering terjadi, sekaligus menjadi kanker penyebab kematian nomor dua. Angka kejadian kanker kolorektal biasanya mulai meningkat pada usia 40 tahun, dan puncaknya pada usia 60-75 tahun.
Seperti kanker pada umumnya, kanker usus besar juga "misterius". Artinya, penyebabnya beragam dan mungkin tidak sama antar pasien. Spesialis bedah kanker RS Dharmais Jakarta dr Adil Pasaribu SpBKBD, mengungkapkan, terdapat tiga kelompok besar penyebab, yakni genetik atau herediter murni (10 persen), familiel (20 persen), dan faktor campuran/sporadis (70 persen).
"Yang terbanyak menjadi kanker adalah interaksi antara genetik dan faktor lingkungan sebagai pemicu," tandasnya.
Sumber: www.lifestyle.okezone.com
Comments
Post a Comment