ASPIRIN ternyata terbukti dapat mengurangi risiko terkena kanker usus besar. Menurut penelitian terbaru di Skotlandia, penurunan risikonya mencapai 22 persen jika mengonsumsi obat penghilang rasa sakit itu secara teratur.
Siapa yang tidak mengenal aspirin atau asam asetilsalisilat (asetosal). Obat yang satu ini sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu dan sering digunakan sebagai analgesik (obat mengatasi rasa sakit atau nyeri minor), antipiretik (obat demam), dan anti-inflamasi atau peradangan. Selain berkhasiat mengobati beragam gejala dan penyakit, manfaat aspirin juga terus berkembang seiring dengan gencarnya penelitian para ilmuwan.
Tetapi penelitian ini yang pertama kali menunjukkan bukti bahwa dosis yang lebih rendah dari aspirin, yang juga dapat mengurangi risiko efek samping lainnya seperti perdarahan gastrointestinal, mungkin juga efektif mencegah kanker usus besar. Hal ini diungkapkan Eric Jacobs, seorang direktur strategis divisi pharmacoepidemiology di American Cancer Society seperti dikutip laman healthday.com.
Dalam studi tersebutpara peneliti dari Skotlandia ini bertanya kepada 2.279 orang dengan kanker usus besar dan 2.907 orang lainnya yang tidak menderita kanker usus besar. Mereka diminta menjawab pertanyaan soal pilihan diet dan gaya hidup yang dapat berpengaruh terhadap meningkatnya risiko kanker.
Partisipan juga ditanya seberapa sering mereka mengonsumsi aspirin dosis rendah (75 miligram) serta obat NSAID non-aspirin (obat anti-inflamasi non-steroid) seperti naproxen (Aleve, Naprosyn, dan lain-lain) dan ibuprofen (Advil, Motrin, dan lain-lain) pada setahun sebelum terdiagnosis kanker ataupun saat penelitian berlangsung.
Sekitar 18,1 persen dari partisipan tanpa kanker dilaporkan mengonsumsi aspirin lebih banyak selama jangka waktu itu, dibandingkan dengan 15,5 persen dari mereka yang menderita kanker usus besar.
Partisipan yang dilaporkan mengonsumsi aspirin dosis rendah secara teratur selama setahun atau lebih, sekitar 22 persen mengalami penurunan risiko menderita kanker usus besar.
Penurunan ini secara klinis terjadi lebih signifikan terhadap mereka yang dilaporkan mengonsumsi aspirin dosis rendah selama lebih dari lima tahun. Persentasenya sekitar 30 persen lebih kecil kemungkinannya terkena kanker dibandingkan rekan-rekan mereka yang tidak mengonsumsi obat penghilang rasa sakit itu.
Walaupun pengurangan risiko terbesar terjadi pada mereka yang mengonsumsi lebih dari 525 miligram aspirin seminggu, efek obat ini ternyata tetap ada untuk dosis harian terendah.
”Studi kasus terbaru di Skotlandia ini merupakan salah satu yang terbesar sampai saat ini yang secara khusus meneliti efek aspirin dosis rendah dan memperlihatkan bukti bahwa penggunaan aspirin dosis rendah selama lima tahun atau lebih juga dapat mengurangi risiko kanker usus besar,” kata Jacobs, yang sebenarnya tidak terlibat dalam penelitian ini.
”Namun, studi sebelumnya soal hubungan penggunaan aspirin dosis rendah dan risiko kanker usus besar memiliki hasil yang beragam. Makanya, hasil studi ini perlu dikonfirmasi,” tuturnya. Studi ini juga mengungkapkan bahwa mengonsumsi NSAID secara teratur dikaitkan dengan penurunan risiko kanker usus besar, dibandingkan dengan mereka yang tidak memakan obat penghilang rasa sakit itu.
Meskipun begitu, penelitian mencatat, mengonsumsi NSAID dari jenis apapun sebelum diagnosis terjadi tidak menambah waktu bertahan hidup pada pasien kanker usus besar atau mempengaruhi risiko kematian dari setiap kasus yang terjadi. Subjek dan proses kontrol studi ini telah diselaraskan dengan usia, jenis kelamin, dan kebiasaan hidup sehat seperti merokok, alkohol, dan asupan serat.
Temuan ini juga sangat akurat karena hasilnya telah disesuaikan dengan masalah berat badan, indeks massa tubuh, dan faktor lainnya. Hasil penelitian sendiri telah dipublikasikan baru-baru ini di jurnal Gut.
“Studi epidemiologi sebelumnya menunjukkan dosis tinggi aspirin (325 miligram harian atau dosis aspirin standar orang dewasa) dan jenis NSAID lainnya mengurangi risiko kanker kolorektal,” kata Dr Andrew Chan, asisten profesor kedokteran di Harvard Medical School dan ahli gastroenterologis di Massachusetts General Hospital.
“Sementara temuan baru memberikan secercah harapan baru yang menjanjikan, ketika kini banyak orang Amerika yang mulai sering mengonsumsi aspirin untuk mencegah penyakit kardiovaskular, penelitian lebih lanjut diperlukan sebelum berkata dengan pasti bahwa dosis rendah aspirin juga efektif,” tandas Chan.
Karena penelitian ini retrospektif, misalnya, hal itu memang bergantung pada ingatan orang tentang penggunaan aspirin, yang mungkin tidak akurat. Para peneliti juga mencatat, tidak diketahui apakah subjek dengan kanker usus besar terus mengonsumsi NSAID setelah diagnosis, yang jelas-jelas dapat membatasi kesimpulan yang diambil dari data yang disajikan tentang kelangsungan hidup penderita.
”Yang ditetapkan dalam literatur didasarkan pada studi sebelumnya dan sekarang studi ini adalah aspirin jelas terbukti efektif dalam mengurangi risiko kanker usus besar,” kata Chan. ”Apa yang kurang jelas dan masih agak kontroversial adalah soal berapa banyak dosis dalam penggunaan aspirin dalam rangka pencegahan,” lanjutnya.
Karena aspirin dapat memiliki efek samping yang berbahaya, organisasi seperti American Cancer Society tidak merekomendasikan mengonsumsi aspirin untuk menangkal kanker usus besar.
”Keputusan untuk mengonsumsi aspirin harus diputuskan dengan dokter dan berdasarkan pada keseimbangan manfaat bagi pencegahan penyakit jantung juga terhadap risiko efek sampingnya,” kata Jacobs.
Berdasarkan informasi dalam latar belakang studi ini, di seluruh dunia kanker usus besar menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian dibandingkan jenis kanker lain, yang telah menewaskan hampir setengah juta orang per tahun. Jacobs menekankan bahwa orang dewasa harus terus menjalankan skrining kanker usus besar.
”Tes skrining kanker usus besar dapat mendeteksi secara dini dan segera mengobati polip kolorektal sebelum akhirnya berubah menjadi kanker ganas. The American Cancer Society merekomendasikan secara tegas bahwa semua laki-laki dan perempuan berusia 50 tahun atau lebih harus mendapatkan tes skrining kanker usus besar,” ujarnya.
(Koran SI/Koran SI/tty)
http://lifestyle.okezone.com
Siapa yang tidak mengenal aspirin atau asam asetilsalisilat (asetosal). Obat yang satu ini sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu dan sering digunakan sebagai analgesik (obat mengatasi rasa sakit atau nyeri minor), antipiretik (obat demam), dan anti-inflamasi atau peradangan. Selain berkhasiat mengobati beragam gejala dan penyakit, manfaat aspirin juga terus berkembang seiring dengan gencarnya penelitian para ilmuwan.
Penelitian terbaru menunjukkan, mengonsumsi aspirin dengan dosis rendah setiap hari terbukti dapat mengurangi seseorang terkena risiko kanker usus besar atau biasa juga disebut kanker kolorektal. Sebenarnya, studi sebelumnya telah menemukan fakta bahwa aspirin dengan dosis besar dapat mengurangi risiko kanker usus besar.
Tetapi penelitian ini yang pertama kali menunjukkan bukti bahwa dosis yang lebih rendah dari aspirin, yang juga dapat mengurangi risiko efek samping lainnya seperti perdarahan gastrointestinal, mungkin juga efektif mencegah kanker usus besar. Hal ini diungkapkan Eric Jacobs, seorang direktur strategis divisi pharmacoepidemiology di American Cancer Society seperti dikutip laman healthday.com.
Dalam studi tersebutpara peneliti dari Skotlandia ini bertanya kepada 2.279 orang dengan kanker usus besar dan 2.907 orang lainnya yang tidak menderita kanker usus besar. Mereka diminta menjawab pertanyaan soal pilihan diet dan gaya hidup yang dapat berpengaruh terhadap meningkatnya risiko kanker.
Partisipan juga ditanya seberapa sering mereka mengonsumsi aspirin dosis rendah (75 miligram) serta obat NSAID non-aspirin (obat anti-inflamasi non-steroid) seperti naproxen (Aleve, Naprosyn, dan lain-lain) dan ibuprofen (Advil, Motrin, dan lain-lain) pada setahun sebelum terdiagnosis kanker ataupun saat penelitian berlangsung.
Sekitar 18,1 persen dari partisipan tanpa kanker dilaporkan mengonsumsi aspirin lebih banyak selama jangka waktu itu, dibandingkan dengan 15,5 persen dari mereka yang menderita kanker usus besar.
Partisipan yang dilaporkan mengonsumsi aspirin dosis rendah secara teratur selama setahun atau lebih, sekitar 22 persen mengalami penurunan risiko menderita kanker usus besar.
Penurunan ini secara klinis terjadi lebih signifikan terhadap mereka yang dilaporkan mengonsumsi aspirin dosis rendah selama lebih dari lima tahun. Persentasenya sekitar 30 persen lebih kecil kemungkinannya terkena kanker dibandingkan rekan-rekan mereka yang tidak mengonsumsi obat penghilang rasa sakit itu.
Walaupun pengurangan risiko terbesar terjadi pada mereka yang mengonsumsi lebih dari 525 miligram aspirin seminggu, efek obat ini ternyata tetap ada untuk dosis harian terendah.
”Studi kasus terbaru di Skotlandia ini merupakan salah satu yang terbesar sampai saat ini yang secara khusus meneliti efek aspirin dosis rendah dan memperlihatkan bukti bahwa penggunaan aspirin dosis rendah selama lima tahun atau lebih juga dapat mengurangi risiko kanker usus besar,” kata Jacobs, yang sebenarnya tidak terlibat dalam penelitian ini.
”Namun, studi sebelumnya soal hubungan penggunaan aspirin dosis rendah dan risiko kanker usus besar memiliki hasil yang beragam. Makanya, hasil studi ini perlu dikonfirmasi,” tuturnya. Studi ini juga mengungkapkan bahwa mengonsumsi NSAID secara teratur dikaitkan dengan penurunan risiko kanker usus besar, dibandingkan dengan mereka yang tidak memakan obat penghilang rasa sakit itu.
Meskipun begitu, penelitian mencatat, mengonsumsi NSAID dari jenis apapun sebelum diagnosis terjadi tidak menambah waktu bertahan hidup pada pasien kanker usus besar atau mempengaruhi risiko kematian dari setiap kasus yang terjadi. Subjek dan proses kontrol studi ini telah diselaraskan dengan usia, jenis kelamin, dan kebiasaan hidup sehat seperti merokok, alkohol, dan asupan serat.
Temuan ini juga sangat akurat karena hasilnya telah disesuaikan dengan masalah berat badan, indeks massa tubuh, dan faktor lainnya. Hasil penelitian sendiri telah dipublikasikan baru-baru ini di jurnal Gut.
“Studi epidemiologi sebelumnya menunjukkan dosis tinggi aspirin (325 miligram harian atau dosis aspirin standar orang dewasa) dan jenis NSAID lainnya mengurangi risiko kanker kolorektal,” kata Dr Andrew Chan, asisten profesor kedokteran di Harvard Medical School dan ahli gastroenterologis di Massachusetts General Hospital.
“Sementara temuan baru memberikan secercah harapan baru yang menjanjikan, ketika kini banyak orang Amerika yang mulai sering mengonsumsi aspirin untuk mencegah penyakit kardiovaskular, penelitian lebih lanjut diperlukan sebelum berkata dengan pasti bahwa dosis rendah aspirin juga efektif,” tandas Chan.
Karena penelitian ini retrospektif, misalnya, hal itu memang bergantung pada ingatan orang tentang penggunaan aspirin, yang mungkin tidak akurat. Para peneliti juga mencatat, tidak diketahui apakah subjek dengan kanker usus besar terus mengonsumsi NSAID setelah diagnosis, yang jelas-jelas dapat membatasi kesimpulan yang diambil dari data yang disajikan tentang kelangsungan hidup penderita.
”Yang ditetapkan dalam literatur didasarkan pada studi sebelumnya dan sekarang studi ini adalah aspirin jelas terbukti efektif dalam mengurangi risiko kanker usus besar,” kata Chan. ”Apa yang kurang jelas dan masih agak kontroversial adalah soal berapa banyak dosis dalam penggunaan aspirin dalam rangka pencegahan,” lanjutnya.
Karena aspirin dapat memiliki efek samping yang berbahaya, organisasi seperti American Cancer Society tidak merekomendasikan mengonsumsi aspirin untuk menangkal kanker usus besar.
”Keputusan untuk mengonsumsi aspirin harus diputuskan dengan dokter dan berdasarkan pada keseimbangan manfaat bagi pencegahan penyakit jantung juga terhadap risiko efek sampingnya,” kata Jacobs.
Berdasarkan informasi dalam latar belakang studi ini, di seluruh dunia kanker usus besar menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian dibandingkan jenis kanker lain, yang telah menewaskan hampir setengah juta orang per tahun. Jacobs menekankan bahwa orang dewasa harus terus menjalankan skrining kanker usus besar.
”Tes skrining kanker usus besar dapat mendeteksi secara dini dan segera mengobati polip kolorektal sebelum akhirnya berubah menjadi kanker ganas. The American Cancer Society merekomendasikan secara tegas bahwa semua laki-laki dan perempuan berusia 50 tahun atau lebih harus mendapatkan tes skrining kanker usus besar,” ujarnya.
(Koran SI/Koran SI/tty)
http://lifestyle.okezone.com
Comments
Post a Comment